Aku Ingin Momong Cucu! Konflik Batin Orang Tua Ketika Anaknya Memilih Child Free

- Jurnalis

Jumat, 11 April 2025 - 21:59 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

foto ilustrasi

foto ilustrasi

Oleh :

Ira Syofyanti – Mahasiswi Magister Sains Psikologi, Universitas Brawijaya

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lebaran Idul Fitri baru saja usai, anak-anak kesayangan beserta menantu berkumpul merayakannya bersama. Namun keseruannya terasa kurang lengkap tanpa adanya suara tangisan bayi, atau anak-anak kecil yang berlari-lari kesana kemari.

Seketika obrolan tentang masa depan pernikahan dan keluarga menjadi topik yang terasa berat dibicarakan namun tidak bisa dihindari mengingat momen ini biasanya sangat jarang terjadi.

Bagaimana kita sebagai orang tua menyikapi ketika putra-putri kesayangan kita menyatakan bahwa mereka memutuskan untuk tidak punya anak (Childfree)? Apakah tugas kita sebagai orang tua selesai saat anak menikah, atau justru baru dimulai saat mereka membuat keputusan besar hidupnya?

Sebenarnya fenomena childfree ini sudah menunjukkan tren peningkatan dalam 5 tahun terakhir dimana pasangan suami istri usia subur memilih untuk tidak memiliki anak dengan sengaja walaupun sehat secara fisik, mental dan finansial serta memiliki kesempatan untuk memilikinya.

Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada tahun 2024, sebanyak 56,26% Pasangan Usia Subur (PUS) berusia 15-49 tahun tercatat sedang menggunakan alat Keluarga Berencana (KB) atau cara tradisional lain untuk menunda dan mencegah kehamilan. BPS sendiri mendefinisikan childfree sebagai individu atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun adopsi.

Pada 2022, 8,2% wanita usia produktif di Indonesia, atau sekitar 71 ribu perempuan, memilih untuk childfree. Angka ini jadi yang tertinggi selama 4 tahun terakhir (GoodStat:2024)

Menarik untuk dicermati keputusan untuk tidak memiliki anak baik secara biologis atau adopsi ini. 3 faktor utama yang seringkali dijadikan alasan diantaranya adalah faktor ekonomi seperti semakin mahalnya kebutuhan hidup, biaya pendidikan, biaya kesehatan, termasuk juga ketidakstabilan ekonomi, pekerjaan dan pendapatan.

Faktor lainnya adalah faktor nilai hidup, dimana pilihan tidak memiliki anak ini dirasa sebagai hak asasi pribadi dan nilai hidup yang lebih mementingkan peningkatan karir. Faktor psikologis juga menjadi pertimbangan seperti kesadaran tentang kesehatan mental, kekhawatiran terhadap kualitas pola asuh atau adanya pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu terkait masa kecil dan pola asuh orang tuanya.

Tentunya Fenomena childfree banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat, karena masih kuatnya nilai-nilai kekeluargaan dalam budaya Indonesia. Dalam masyarakat Indonesia yang masih sangat menjunjung nilai keluarga, pernikahan dianggap “sempurna” jika menghasilkan keturunan ditambah lagi budaya kolektif menekankan pentingnya anak sebagai penerus garis keturunan dan pewaris nama keluarga.

Menurut teori Stigma (Erving Goffman: 1963) identitas sosial negatif yang dilekatkan pada seseorang karena dianggap berbeda atau menyimpang dari norma. Stigma sosial menganggap bahwa pasangan yang memilih untuk tidak punya anak dinilai terlalu egois, tidak dewasa karena tidak berani mengambil peran tanggung jawab sebagai orang tua.

“Ketika anak memutuskan untuk tidak memiliki keturunan, banyak orang tua merasa sedih, kecewa, bahkan terluka. Namun, penting bagi kita untuk memahami bahwa keputusan seperti ini sering lahir dari perjalanan hidup yang panjang dan proses refleksi yang dalam, bukan semata-mata mengikuti tren.

Menurut Self-Determination Theory (Deci & Ryan), manusia akan merasa paling bahagia ketika hidupnya dijalani secara otonom, sesuai nilai dan pilihan pribadinya. Dalam konteks ini, memilih childfree bisa jadi merupakan cara anak memenuhi kebutuhan psikologis akan kebebasan dan kendali atas hidupnya.

Ketidaknyamanan yang mungkin dirasakan orang tua sebenarnya bisa dijelaskan lewat Teori Disonansi Kognitif (Festinger), di mana ketegangan muncul saat kenyataan tak sejalan dengan harapan.

Namun, daripada memaksa anak untuk menyesuaikan diri, akan lebih bijak jika kita mencoba melihat dari sudut pandang mereka — sebuah proses yang disebut perspective taking. Dengan berusaha memahami konteks hidup, kekhawatiran, dan nilai-nilai anak kita, justru hubungan emosional dalam keluarga bisa tumbuh lebih dalam, bukannya malah hilang.

Sebagai orang tua, kita terbiasa memberi nasihat, motivasi, arahan hidup bahkan terkesan memaksakan anak mengikuti norma yang kita yakini benar. Tapi kita juga tidak bisa memungkiri pada jaman yang terus berubah dengan cepat ini, justru yang paling dibutuhkan anak adalah telinga yang mau mendengar dan hati yang tulus memahami mereka.

Memberikan tekanan emosional untuk segera punya anak akan berdampak pada hubungan keluarga yang renggang, atau bahkan menciptakan luka yang tidak terlihat. Anak malah semakin menjauh karena perlakuan yang kurang nyaman dari kita sebagai orang tua. Namun perlu kita ingat juga bahwa sikap bijak bukan berarti menyetujui, tapi mampu menahan diri untuk tidak langsung menghakimi keputusan mereka adalah salah.

Banyak pasangan childfree bukanlah orang yang membenci anak, apalagi egois. Sebaliknya, mereka membuat keputusan itu dengan penuh kesadaran. Mereka tahu apa yang sanggup mereka tanggung, dan apa yang belum bisa mereka jalani.

Keputusan untuk tidak memiliki anak bisa jadi merupakan bentuk tanggung jawab—bukan penolakan terhadap kehidupan. Tanpa tanggung jawab membesarkan anak, mereka bisa lebih fokus pada kesejahteraan pribadi dan hubungan yang sehat.

Mereka punya lebih banyak waktu untuk merawat kesehatan mental, menjaga relasi dengan pasangan dan keluarga, dan memberi perhatian lebih pada orang-orang terdekat—termasuk orang tua. Secara finansial, mereka bisa hidup lebih stabil. Tidak sedikit yang memilih untuk membantu keluarga besar, merawat orang tua, atau berkontribusi dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan. Ada pula yang memilih childfree karena alasan lingkungan.

Mereka merasa dunia ini sudah terlalu padat, terlalu lelah, dan ingin menjalani hidup dengan jejak terhadap lngkungan yang lebih ringan. Ini bukan keputusan yang dibuat karena takut, tapi karena peduli.

Dan pada akhirnya, bukankah kebahagiaan setiap anak adalah hal yang paling kita doakan sebagai orang tua? Jika anak menemukan damai dalam kehidupannya, menemukan makna hidupnya, meski tanpa anak—bukankah itu juga sebuah keberhasilan?

Menjadi orang tua tidak hanya tentang melihat cucu tumbuh dan generasi berlanjut. Kadang, menjadi orang tua adalah tentang mendampingi anak membuat keputusan besar—meski tidak sesuai dengan harapan kita. Bisa saja di situlah letak cinta yang paling sejati, bukan?

Berita ini 34 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 11 April 2025 - 21:59 WIB

Aku Ingin Momong Cucu! Konflik Batin Orang Tua Ketika Anaknya Memilih Child Free

Berita Terbaru